Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
.. 15
LATAR BELAKANG
Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang
abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan kehidupan manusia.
Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati,
karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang
lebih. Namun keraguan, keengganan, dan
kecemasan ini biasanya pelan-pelan memudar ketika sudah mulai menekuni
bidang ini dan bahkan akan lebih terasa menarik ketika sadar bahwa filsafat
adalah bagian yang terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dalam makalah ini, akan ada beberapa hal yang dibahas
mengenai DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU yang mencakup Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologis. Didalamnya terdapat Objek Kajian, Aliran, serta Teologi dalam
Ontologis, lalu Pengertian, Persyaratan, serta Aliran-Aliran dalam Epistimologi,
dan yang terakhir ada Pengertian, serta Objek kajian Aksiologis.
Definisi Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat
sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta
yang berarti ‘yang berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Dengan demikian Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang
yang berada. (Dr. A. Susanto, M.Pd. 2011)
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636. Ontology tersebut diperkenalkan untuk menamai teori tentang hakikat
yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya metafisika terbagi menjadi
dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontology. (Christian Wolff, 1679-1757)
Dengan demikian, metafisika umum atau ontology merupakan cabang dari
disiplin ilmu filsafat yang mempelajari prinsip paling dasar atau paling dalam
dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi kedalam
kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi merupakan cabang ilmu yang secara
khusus membahas tentang alam semesta. Psikologi merupakan cabang ilmu filsafat
yang secara khusus membahas tentang gejala-gejala jiwa manusia. Sedangkan teologi merupakan cabang ilmu filsafat yang
membahas tentang Tuhan.
Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas
dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan
kepada karakteristik objek ontologism sebagaimana adanya (das sein) dengan
deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara
metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima
sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian atau
penelitian berdasarkan epistimologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran
pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk
menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang
dikatakan Einsten dalam Zainuddin (2006: 27) bahwa : “Ilmu dimulai dengan fakta
dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun teori yang disusunnya”.
Memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatic ke dalam argumentasi
ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut kebelakang (set back) ke zaman
pra-copernicus dan kemungkinan mengundang berlangsungnya inquisi ala Galileo
(1564-1642) pada zaman modern.
OBJEK KAJIAN ONTOLOGI
Objek kajian telaah ontology adalah semua yang ada, yaitu ada
individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada
mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun
sumber segala yang ada, yaitu Tuhan yang maha esa, pencipta dan pengatur serta
penentu alam semesta.
Objek formal ontology adalah seluruh realitas. Bagi pendekatan
kualitatif, kualitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi
telaah monism, paralelisme, atau pluralism. Bagi pendekatan kualitatif realitas
akan tampil menjadi aliran materialism, idea-lisme, naturalism, atau
hilomorphisme.
A.
Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus
memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontology, yaitu abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan
metafisik mengenai prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang dijangkau oleh ontology
adalah abstraksi metafisik. Metode pembuktian dalam ontology oleh Lorens Bagus
dibedakan menjadi dua, yaitu: pembuktian apriori dan pembuktian a
posteriori.
B.
Metafisika
Metafisika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat
‘keluarbiasaan’ (beyond nature), yang berada diluar pengalaman manusia (immediate
experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang
biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami,
serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia. (Asmoro
Achmadi, 2005: 14)
Singkatnya,
metafisika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada
dibelakang gejala-gejala yang nyata. Jika ditinjau dari segi filsafat secara
menyeluruh metafisika juga ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata.
Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa
dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra.
Manusia
berpendapat bahwa di alam ini terdapat wujud-wujud supranatural (bersifat gaib)
yang mana wujud-wujud tersebut lebih tinggi
atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animism (roh-roh bersifat gaib
yang terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan
yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme. Lalu ada paham naturalisme yang
menolak secara keras paham supranaturalisme, paham naturalisme berpendapat
bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib,
melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.
C.
Asumsi
Asumsi merupakan
pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat
dibuktikan secara rasional. Yang berkenaan dengan konsep-konsep, dan
pengandaian-pengandaian. Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan
pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan
serta penyusunan yang lebih ajeg dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.
ALIRAN-ALIRAN METAFISIKA DALAM ONTOLOGI
Di dalam pemahaman atau pemikiran ontology dapat ditemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti: Monoisme, dualisme, pluralisme,
dan agnitisisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang pokok-pokok pemikiran
tersebut.
A.
Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap
bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal
berupa materi maupun berupa ruhani. Tetapi aliran monoisme pun terbagi menjadi
dua, yaitu:
1.
Aliran Materialisme
(Naturalisme)
Aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu materi, bukan rohani. Menurutnya zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu.
2.
Aliran Idealisme
(Supranaturalisme)
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka raga mini berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah salah satu bentuk
dari penjelmaan ruhani
B.
Aliran Dualisme
Aliran dualism
adalah aliran yang mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu
materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi atau ruh sama-sama
merupakan hakikat. Materi muncul bukan karna adanya ruh, begitu pun ruh muncul
bukan karna materi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih
memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.
Aliran dualisme
memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran
dualisme merupakan paham aliran yang serba dua, yaitu antara materi dan bentuk.
Menurut paham dualisme, didalam dunia ini selalu dihadapkan kepada dua
pengertian, yaitu ‘yang ada sebagai potensi’ dan ‘yang ada sebagai terwujud’.
Keduanya adalah sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidios).
C.
Aliran Pluralisme
Paham pluralisme
berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralism bertolak
dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu nyata adanya.
Pluralism sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan ala mini tersusun dari
banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas.
D.
Aliran Nikhilisme
Selanjutnya pada
aliran nikhilisme menyatakan bahwa dunia
terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui
validitas alternative positif. Dalam pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati.
Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.
E.
Aliran Agnotisisme
Sedangkan aliran
agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu,
air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat
terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh
indranya maupun oleh pikirannya. Paham agnotisisme mengingkari kemampuan
manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat
ruhani.
Teologi
Teologi juga merupakan bagian dari kajian bidang
ontologi. Dalam kamus teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam bahasa Yunani
artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha meyodis untuk memahani dan menafsirkan
kebenaran wahyu (gerald O’Collins dan Edward G., 2001; 314). Dalam bahasa latin
teologi dairtikan ‘ilmu yang mencari pemahaman’, maksudnya dengan menggunakan
sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari
dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.
Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang
lingkup filsafat metafisika, adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak
semata-mata kepada kejadian alam. (Sudarsono, 2001 : 129). Pembahasan filsafat
ini mengkaji keteraturan hubungan antara benda-benda alam sehingga orang
meyakini adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.
Teologi dalam kajian filsafat metafisika memliki
arti penting dalam pemikiran kefilsafatan. Pemikiran tersebut muncul sejak dari
para filosof Yunani, kemudian dilanjutkan oleh kaum Sophi dan masa Sokrates,
juga filsafat pada abad pertengahan, terutama dengan hadirnya filosof kristen,
hingga perkembangan filsafat dewasa ini.
DEFINISI EPISTIMOLOGI
Epistemologi sering juga disebut teoi pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi,
istilah epistemologi bersal dari bahasa Yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi dapat
diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005 : 157) epistemologi
adalah cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis
sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang
dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan,
dan sebagainya.
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata
cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaaan
mengenai pilihan landasan ontologi akan sendirinya mengakibatkan perbedaan
dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, budi, pengalaman, atau
kombinasi antara akal budi dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang
dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya model-model
epistemologis seperti rasionalisme,
empirisme, kritisisme, atau rasionalis kritis, postitivisme, fenomenologis,
dengan berbagai variasinya. Pengetahuan
yang diperoleh manusia melalu akal, indera, dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut.
Induksi yaitu suatu objek yang menyampaikan
pernyataan-pernyataan hasil obeservasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan
yang lebih umum.
Deduksi ialah metode yang menyimpulkan bahwa
data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut.
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte
(1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual,
dan yang positif.
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra
dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang akan
dihasilkan pun akan berbeda-beda. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi
ini dapat diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh
Al-Ghazali.
Dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga nalisis sistematis tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
PERSYARATAN EPISTIMOLOGIS
Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat
sistematis dan sistemik serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri tersebut
saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai
pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut menurut Conny R. Semiawan (2005 : 99) adalah sebagai
berikut.
A.
Dasar
pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan
derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil
kerja empiris.
B.
Semantik dan
sistematis masing-masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang didasarkan pada
penyelidikan (research) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan
melalui komparasi dan generalisasi secara teratur. Sifat
intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi dan sifat
subjektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar
kebenaran dari ilmu itu didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh
ilmu tersebut, sehingga tercapai intersubjektivitas.
ALIRAN-ALIRAN DALAM EPISTIMOLOGIS
Secara garis besar, terdapat dua aliran pokok
dalam dimensi Epistemologi. Kedua aliran tersebut adalah alirann rasionalisme
dan empirisme, dari kedua aliran ini kemudian lahirlah aliran isme yang lainya,
misalnya rasionalisme kritis (kritisime), fenomenalisme, instuisionisme,
positivisme, dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran yang pemikiran
yang menekankan pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian yang sangat
menentukan hasil keputusan atau pemikiran. Hasil pemikiran filosof pada jaman
klasik hingga kini pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan
indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar
ontologis idealisme atau spiritualisme, dan dari indera lalu melahirkan
empirisme yang berpijak pada dasar ontologis materialisme. Rasionalisme timbul
pada masa renaissance yang dipelopori oleh Rene Decrates, seorang yang
berkebangsaan prancis yang dijuluki sebagai “bapak filsafat modern”.
Rasionalisme dikembangkan berdasarkan “ide” dari
Plato. Bagi Plato, alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap
tak berubah-ubah. Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak
memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah.
Menurut Plato, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan
kebenarannya.
Sedangkan filsafat empiris berasal dari filsafat
yang dikembangkan oleh aristoteles, yang mengatakan bahwa realitas yang
sebenarnya adalah terletak pada benda-benda konkret, yang didapat oleh
indera,bukan pada ide sebagaimana yang disebutksn oleh Plato. Jadi, menurut
Aristoteles sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh
filosof-filosof inggris seperti F.Bacon, Thommas Hobbes, John Locke, George
Berkeley, dan David Hume. Menurut John Locke, ilmu pengetahuan adalah
pengalaman empiris. Bagi Locke, manusia dilahirkan dalam keadaan
bersih,bagaikan kertas putih yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, di mana melalui kertas putih
inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai
tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut.
DEFINISI AKSIOLOGIS
Istilah aksiologis berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori.
Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai yabg dalam filsafat mengacu kepada
permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi
juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
menerapkan ilmu ke dalam praktis.
OBJEK AKSIOLOGIS
Aksiologis memuat pemikiran tentang masalah
nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral,
nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologis ini juga mengandung
pengertian lebih luas dari pada etika atau higher values of life
(nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).
Filsafat ilmu juga menyibukan diri dengan berbagai
masalah yang datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran,
teologi, misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau
kesudahannya, penjelasan sebab-musabab, hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda,
keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik
mengenai ilmu-ilmu satu per satu.
Dilihat dari jenisnya, paling tiddak terdapat dua
bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu meliputi
etika dan estetika.
1.
Etika
Etika disebut sebagai kajian tentang hakikat moral
dan keputusan (kegiatan menilai). Etika merupakan standar prinsip atau standar
prilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. (Conny R. Semiawan).
Ditinjau secara filosofis, sangat sukar mengatakan
semua itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatau
boleh dikatakan mengenai hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil
kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang
dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh
masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu
pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama,
etika merupakan kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang
dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia
lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan
mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Sedangkan estetika berkaitan
dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
2.
Estetika
Estetika mempelajari tentang hakikat keindahan di
dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hekikat
indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi
yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami
oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan
mode-mode yang esteris dari suatu pengetahuan ilmiah tersebut.
A.
Universal
Universal berarti
berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau
pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas ruang dan waktu,
paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarati hukum-huum fisika yang
berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik sekarang maupu
seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-kondisi yang
rekevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan itu sama.
B.
Dapat
Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya, apabila
bahsa tidak merupakan kendala, pengetahuan itu bukan saja dimengerti sebatas
artinya, tetapi juga maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang
lain dengan tingkat kepercayaan cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat
intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi communicable.
C.
Progresif
Progresif dapat
diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini
merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh
ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic,
comprehensive). Mendasar (radical), kritis, dan analitis yang menyatu dalam
semua imajinasi dan penalaran ilmiah.
KESIMPULAN
Didalam filsafat ilmu, ada kajian tentang filsafat
ilmu, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masing-masing
dimensi memiliki pengertian yang berbeda. Bukan hanya pengertian, masing-masing
dimensi juga memiliki objek kajian, aliran, serta metode pembahasan
masing-masing.
Ontologi yang merupakan cabang teori hakikat yang
membicarakan hakikat sesuatu yang ada, membahas tentang segala sesuatu yang
jelas adanya. Misalnya, ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak
terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada
sesudah kematian maupun sumber segala yang ada.
Epistemologi atau sering juga disebut dengan teori
pengetahuan, membahas dan menyelidiki asal-usul, susunan, metode-metode, dan
sah nya pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai macam metode, seperti metode
induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Kemudian ada
aliran dalam epistemologi yaitu aliran rasionalisme dan aliran empirisme yang
keduanya memiliki ciri khas tersendiri yang saling bertolak belakang.
Lalu yang terakhir ada dimensi aksiologis yang
membahas ‘teori tentang nilai’. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada pada permasalahan etika dan estetika. Objek yang dibahas dalam aksiologi
adalah tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari tuhan. Misalnya,
nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika).
Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat
Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat
Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2001. Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar. Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sudarto. 1996. Metodologi
Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edwards, Paul. 1972. The
Encyclopedia of Philosophy. New York: Macmillan Publishing.
Komara, Endang. 2011. Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar